Sapaan seorang sahabat,
Mungkin
Anda akan mencapku sebagai seorang romo yang terlalu cengeng, tapi aku
tidak mau menyembunyikan gejolak perasaan kemanusiaanku ketika mencoba
membaca dan menterjemahkan kisah ini dalam bahasa Indonesia yang
sederhana dan mudah untuk dimengerti. Beberapa kali aku harus berhenti
sejenak, merenung bahkan tak terasa rasa sedih menyelimuti seluruh
tubuhku atas sentuhan kata-kata yang terangkai dalam kalimat-kalimat
penuh makna dalam kisah ini.
Semoga saja kisah
ini menjadi bahan pembelajaran bagi teman-teman yang baik sedang
merencankan untuk menikah, yang telah hidup dalam pernikahan, tapi
terlebih untuk teman-teman yang mengalami goncangan dalam hidup
perkawinan mereka saat ini. Percayalah…Tuhan sedang menegur dan
mengingatkanmu akan keutuhan dan kekudusan pernikahan lewat kisah yang
sedang Anda baca ini.
AKAN KUGENDONG ENGKAU SAMPAI AJAL TIBA
Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku, sambil memegang tangannya aku berkata; “Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
Istriku lalu duduk disamping sambil menemaniku menikmati makan malam
dengan tenang. Dari raut wajah dan matanya kutahu dia sedang memendam
luka batin yang membara.
Tiba-tiba aku tidak tahu harus
memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari
mulutku. Akan tetapi aku harus membiarkan istriku mengetahui apa yang
sedang kupikirkan. Aku ingin sebuah perceraian diantara kami. Aku lalu
memberanikan diri untuk membicarakannya dengan tenang. Nampaknya dia
tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah balik dan
bertanya kepadaku dengan tenang, tapi mengapa?
Aku menolak menjawabnya. Ini membuatnya sungguh marah kepadaku. Dia membuang choptiks di tangannya dan mulai berteriak kepadaku, “engkau bukan seorang laki-laki sejati.”
Malam itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia terus menangis dan
menangis. Aku tahu bahwa dia ingin mengetahui alasan dibalik keinginanku
untuk bercerai. Tetapi aku dapat memberinya sebuah jawaban yang
memuaskan; “Dia telah menyebabkan kasih sayangku hilang terhadap
Jane (wanita simpananku). Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya
kasihan kepadanya.”
Dengan
sebuah rasa bersalah yang dalam, aku membuat sebuah pernyataan
persetujuan untuk bercerai bahwa dia dapat memiliki rumah kami, mobil
dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah, merobek
kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersamaku
kini telah menjadi orang asing di rumah kami, khususnya di hatiku. Aku
meminta maaf untuknya, untuk waktunya yang telah terbuang selama 10
tahun bersamaku, untuk semua usaha dan energy yang diberikan kepadaku
tapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah kukatakan kepada
Jane bahwa aku sungguh mencintainya. Akhirnya dia menangis dengan suara
keras di hadapanku yang mana Aku sendiri berharap melihat terjadi
padanya. Bagiku tangisannya tidak mempunyai makna apa-apa. Keinginanku
untuk bercerai di hati dan pikiranku telah bulat dan aku harus
melakukannya saat itu.
Hari berikutnya, ketika saya
kembali ke rumah sedikit larut kutemukan dia sedang menulis sesuatu di
atas meja di ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi langsung pergi
tidur karena rasa ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai
sesudah seharian bertemu dengan Jane, wanita idamanku saat itu. Ketika
terbangun kulihat dia masih duduk di samping meja itu sambil melanjutkan
tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku.
Pagi
harinya dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya
sejak semalam kepadaku; Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi
hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum percerain untuk saling
memperlakukan sebagai suami-istri dalam arti sebenarnya. Dia memintaku
dalam sebulan itu kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya
suami-istri. Alasannya sangat sederhana; “Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak ingin mengganggunya dengan rencana perceraian kami.”
Aku
menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Akan tetapi dia juga meminta
beberapa syarat tambahan sebagai berikut; Dalam rentang waktu sebulan
itu, aku harus mengingat kembali bagaimana pada permulaan pernikahan
kami, aku harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta
pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu
dari kamar tidur sampai di muka pintu depan setiap pagi. Aku pikir dia
sudah gila. Akan tetapi, biarlah kucoba untuk membuat hari-hari terakhir
kami menjadi indah untuk memenuhi permintaannya kepadaku demi
meluluskan perceraian kami.
Aku menceritakan kepada Jane
(wanita simpananku) tentang syarat-syarat yang ditawarkan oleh istriku.
Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya dan berpikir bahwa itu adalah
sesuatu yang aneh dan tak bermakna. Terserah saja apa yang menjadi
tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah
kita rencanakan, demikian kata Jane.
Kami tak lagi
berhubungan badan layaknya suami-istri selama waktu-waktu itu. Sehingga
sewaktu aku menggendongnya keluar menuju pintu rumah kami pada hari
pertama, kami tidak merasakan apa-apa. Putra kami melihatnya dan
bertepuk tangan dibelakang kami, sambil berkata, wow…papa sedang menggendong mama. Kata-kata putra kami sungguh membuat luka di hatiku.
Dari
tempat tidur sampai di pintu depan aku menggendong dan membawanya
sambil tangannya memeluk eratku. Dia menutup mata sambil berkata pelan; “Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita.”
Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk
menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya. Sedangkan aku
mengendarai mobil sendirian ke kantorku.
Pada hari kedua,
kami berdua melakukannya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat di
dadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuh dan pakaianya.
Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan saksama
untuk waktu yang sudah agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda
lagi seperti dulu. Ada bintik-bintik kecil di raut wajahnya, rambutnya
mulai beruban! Perkawinan kami telah membuatnya seperti itu. Untuk
beberapa menit aku mencoba merenung tentang apa yang telah kuperbuat
kepadanya selama perkawinan kami.
Pada hari yang ke empat, ketika
aku menggendongnya, aku merasa sebuah perasaan kedekatan/keintiman yang
mulai kembali merebak di relung hatiku yang paling dalam. Inilah wanita
yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku. Pada
hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami
sebagai suami-istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tidak mau
mengatakan perasaan seperti ini kepada Jane (wanita yang akan kunikahi
setelah perceraian kami). Aku pikir ini akan lebih baik karena aku hanya
ingin memenuhi syarat yang dia minta agar nantinya aku bisa menikah
dengan wanita yang sekarang aku cintai, si Jane.
Aku
memperhatikan ketika suatu pagi dia sedang memilih pakaian yang hendak
dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun
yang cocok untuk tubuhnya. Dia lalu sedikit mengeluh, semua pakaianku
terasa terlalu besar untuk tubuhku sekarang. Aku kemudian menyadari
bahwa dia semakin kurus, dan inilah alasannya mengapa aku dapat dengan
mudah menggendongnya pada hari-hari itu.
Tiba-tiba
kenyataan itu sangat menusuk dalam di hati dan perasaanku…Dia telah
memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu
mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.
Tiba-tiba putra kami muncul pada saat it dan berkata, “Papa, sekarang waktunya untuk menggendong dan membawa mama.”
Baginya, menggendong dan membawa ibunya keluar menjadi sesuatu yang
penting dalam hidupnya. Istriku mendekati putra kami dan memeluk erat
tubuhnya penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku ke arah yang berlawanan
karena takut situasi istri dan putraku akan mempengaruhi dan mengubah
keputusanku untuk bercerai pada saat-saat akhir memenuhi
syarat-syaratnya. Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan
dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan.
Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan sangat romantis
layaknya suami-istri yang hidupnya penuh kedamaian dan harmonis satu
dengan yang lain. Aku pun memeluk erat tubuhnya; dan ini seperti moment
hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu.
Akan tetapi
tubuhnya yang sekarang ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir,
ketika aku menggendongnya dengan kedua lenganku aku merasa sangat berat
untuk menggerakkan walaupun cuma selangkah ke depan. Putra kami telah
pergi ke sekolah. Aku memeluk eratnya sambil berkata, aku tidak pernah
memperhatikan selama ini bahwa hidup perkawinan kita telah kehilangan
keintiman/keakraban satu dengan yang lain. Aku mengendarai sendiri
kendaraan ke kantorku….melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci
pintunya. Aku sangat takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku
mengubah pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane membuka pintu dan aku
berkata kepadanya, Maaf, Jane, Aku tidak ingin menceraikan istriku.
Jane
memandangku penuh tanda tanya bercampur keheranan, dan kemudian
menyentuh dahiku dengan jarinya. Apakah badanmu panas? Dia berkata. Aku
mengelak dan mengeluarkan tangannya dari dahiku. Maaf, Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup
perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memakna secara
detail setiap moment kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling
mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari bahwa
sejak aku menggendong dan membawanya setiap pagi, dan terutama kembali
mengingat kenangan hari pernikahan kami aku memutuskan untuk tetap akan
menggendongnya sampai hari kematian kami tak terpisahkan satu dari yang
lain. Jane sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan
kemudian membanting pintu dengan keras dan mulai meraung-raung dalam
kesedihan bercampur kemarahan terhadapku. Aku tidak menghiraukannya. Aku
menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah
di sebuah tokoh bunga di sepanjang jalan itu, aku memesan bunga untuk
istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang harus kutulis di
kartunya. Aku tersenyum dan menulis; “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”
Petang
hari ketika aku tiba di rumah, dengan bunga di tanganku, sebuah senyum
indah di wajahku, aku berlari kecil menaiki tangga rumahku, hanya untuk
bertemu dengan istiriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya
untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan kami, tapi apa yang
kutemukan? Istriku telah meninggal di atas tempat tidur yang telah kami tempati bersama selama 10 tahun pernikahan kami.
Istriku telah berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya
berbulan-bulan tanpa pengetahuanku karena kesibukanku untuk menjalin
hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam
waktu yang relatif singkat akibat kanker ganas itu, dan ia ingin
menyelamatkanku dari apapun pandangan negatif yang mungkin lahir dari
putra kami sebagai reaksi atas kebodohanku sebagai seorang suami dan
ayah, terutama rencana gila dan bodohku untuk menceraikan wanita yang
telah berkorban selama sepuluh tahun mempertahankan pernikahan kami dan
demi putra kami…
----sekurang-kurangnnya, di mata putra kami – aku adalah seorang ayah yang penuh kasih dan sayang….demikianlah makna dibalik perjuangan istriku.
Sekecil
apapun dari peristiwa atau hal dalam hidup sangat mempengaruhi hubungan
kita. Itu bukan tergantung pada uang di bank, mobil atau kekayaan
apapun namanya. Semuanya ini bisa menciptakan peluang untuk menggapai
kebahagiaan tapi sangat pasti bahwa mereka tidak bisa memberikan
kebahagiaan itu dari diri mereka sendiri. Suami-istrilah yang harus
saling memberi demi kebahagiaan itu.
Karena itu, selalu
dan selamanya jadilah teman bagi pasanganmu dan buatlah hal-hal yang
kecil untuknya yang dapat membangun dan memperkuat hubungan dan
keakraban di dalam hidup perkawinanmu. Milikilah sebuah perkawinan yang
bahagia. Kamu pasti bisa mendapatkannya, kawan!
Jika engkau tidak ingin membagi cerita ini, pasti tidak akan terjadi sesuatu padamu di hari-hari hidupmu.
Akan tetapi, kita engkau mau membagi cerita ini kepada sahabat
kenalanmu, maka satu hal yang pasti bahwa Tuhan sedang menggunakanmu
untuk menyelamatkan perkawinan orang lain, terutama mereka yang
sekarang mengalami masalah dalam pernikahan mereka.
Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat yang menikah maupun
yang berencana untuk menikah,
***Duc in Altum***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar