Sabtu, 24 Desember 2011

Repost : Senyum bidadari ( Lani )

Selamat Hari Ibu :)
kasih komen dan masukkannya dong :)

===========

Senyum Bidadari
Oleh LANI

Rindu menggebu dihati Dara. Semalam dia bermimpi tentang Ibunya yang jatuh sakit, suasana hatinya menjadi rusak, dadanya pun terasa sesak bernafas. Ibunya Dara tinggal dikampung sedangkan Dara di kota untuk mencari uang dan bekerja sebagai pelayan rumah makan atau istilah kerennya waitres. Tiada hari tanpa bekerja, meski hari libur atau pun tanggal merah. Semua hari baginya sama, dua belas jam dalam sehari Dara habiskan untuk bekerja. Kadang dalam hatinya memberontak namun apalah daya orang kecil hanya bisa bermimpi. Sesuatu yang paling murah dan gratis hanyalah sebuah mimpi, yang entah kapan bisa terwujud. Dara mendesah, membelalakan kedua bola matanya ketika mentari pagi terbit secerah lampu kamar yang lupa dia matikan. Segera Dara mencari handphonenya dan menelpon kakaknya untuk menanyakan kabar Ibunya. Badannya panas dan berkeringat. Beberapa kali tidak bisa terhubung karena sinyal yang kurang mendukung, setelah lima kali baru bisa tersambung.

“Halo kak,” kata Dara.
“Ya, ada apa Dara?” jawab kakak Dara.
“Bagaimana keadaan Ibu?” lanjut Dara.
“Ibu lagi gak enak badan tapi udah minum obat, bagaimana dengan kamu? Kapan pulang?” tanya Kakak Dara penuh harap.
“Semoga Ibu cepat sembuh ya, aku baik-baik saja disini dan belum tahu kapan pulangnya,” jawab Dara.
Hatinya menangis. Kapan pulang? Ingin sekali pulang, namun mimpi bukan hanya sekedar untuk ditunggu lalu terwujud namun perlu usaha dan harapan.
“Kamu jaga kesehatan disitu ya,” kata kakak Dara.
“Siap kak, aku akan segera pulang. Jaga Ibu ya, salam untuk Ibu,” balas Dara.

Telepon pun ditutup dengan desahan nafas menahan rindu pada Ibu dan keluarga dikampung. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, segera Dara bergegas mandi dan bersiap untuk bekerja kembali. Matanya melihat sebungkus mie, Dara teringat masa lalu ketika satu bungkus mie dijadikan lauk untuk empat orang oleh Ibunya. Matanya berkaca, bahwa hidup ini mungkin tidak adil menurutnya. Dara hanya bermimpi mempunyai uang sebanyak-banyaknya untuk membuat Ibu dan kakaknya bahagia, supaya orang-orang pun tahu bahwa mereka juga bagian dari masyarakat yang tak perlu dikucilkan karena kemiskinan. Maka Dara rela bekerja tanpa libur bahkan kadang sampai lembur untuk menambah tabungannya supaya Ibunya bisa menonton televisi, bisa memasak dengan kompor gas tanpa perlu kayu bakar lagi, rumahnya bisa terang tanpa mengandalkan cahaya bulan seperti dikota-kota dan tetangganya yang gemerlapan cahaya lampu, serta mempunyai rumah yang berdinding batu bata bukan bilik dari tanaman ilalang yang kapan saja bisa terbakar jika terkena panas. Sebagian sudah terwujud dan masih banyak yang belum terwujud, maka Dara masih bermimpi untuk segera mewujudkannya.

Senyum pun tersungging dibibirnya, Dara yakin jika dia bekerja dengan giat, semangat, dan menyambut hari dengan senyuman maka dunia pun akan tersenyum balik padanya maka mimpi-mimpi pun akan segera terwujud.
“Semangat!!” ujarnya.

Sekarang Dara sudah rapi dan siap berangkat bekerja, untuk memotongi sayuran, memasak nasi atau melayani pelanggan rumah makan dengan masakan yang enak. Dara berjalan kaki dari tempat mes-nya, sepanjang jalan angin menyertainya seolah mengajaknya bicara memberitahunya bahwa hidup ini sebenarnya tidak sesulit dan sekejam yang dia bayangkan. Namun itu hanya terlihat seperti gerakan pantomim yang tak bisa dimengerti oleh Dara, atau seperti tulisan novel yang indah namun sang pembaca hanya mengagumi covernya tanpa tahu isi dan jalan cerita dari judul novel tersebut. Dara melihat kesekeliling, bahwa pagi ini indah apalagi kalau apa yang kita inginkan terwujud, maka hidup akan terasa ajaib. Dara melihat rumput-rumput yang bergoyang bersenandung menghiburnya. Langkahnya terhenti karena kakinya menginjak kertas merah yang sepertinya penting dan milik seseorang. Kertas undian. Dara menoleh kanan kiri namun tidak ada orang yang mau mengakuinya, maka Dara mengambilnya dan menyatakan bahwa itu miliknya, wajar bukan!

“Dara!” dari kejauhan seseorang memanggilnya dan sudah menatapnya dengan bengis. Itu bos-nya, sipemilik warung makan yang sudah siap dengan kemarahan yang tidak jelas. Itu sudah biasa, menjadi menu makanan setiap pagi bagi Dara. Langkah kaki Dara makin dipercepat  sebelum amukan masal dengan percuma dia lewatkan.
“Ya bu bos,” jawab Dara.
“Lelet! Cepetan potong-potong sayuran itu, saya mau sembahyang dulu.” Suruh bos perempuannya.

Dara hanya mengangguk. Berfikir sejenak bahwa kadang-kadang apa yang dimakan enak oleh orang adalah hasil jerih payah orang kecil. Dan uang adalah penguasa nomor satu yang tak terkalahkan sedangkan Tuhan hanya sebagai alasan manusia menyimpan salah dan berharap berkah. Dara mendendangkan sebuah lagu dimulutnya sebagai pengobat hatinya yang sejak tadi pagi tak karuan. Suatu hari nanti, Dara yakin akan suatu hari nanti segalanya akan tampak indah sebagaimana adanya dan akan dia tunjukkan pada dunia tentang mimpinya.

Sepuluh bulan kemudian...

Hati Dara kosong. Dara ingin pulang, tak bisa ditawar lagi. Akhirnya Dara meminta ijin pulang kampung selama tujuh hari. Uangnya belum banyak namun kerinduan membuatnya mengubur sejenak mimpinya, Dara hanya ingin merasakan belaian tangan Ibunya, tidur disampingnya dan membuatkan masakan menu spesial.

Kereta melaju membawa sejuta gemuruh didada, sudah satu tahun Dara tidak pulang kampung. Akan sangat berbeda rasanya, akan banyak  perubahan yang terlihat terutama suasana desa. Delapan jam perjalanan tidak terasa, Dara terhibur dengan adanya bencong-bencong yang berdendang, macam-macam orang yang saling membanggakan diri. Dara hanya membanggakan satu orang di dunia ini yaitu Ibunya. Para pedagang tak henti-hentinya mondar-mandir membawa dagangan serta berbagai macam aroma keringat tak sedap hanya demi satu kata “UANG.”

Kereta berhenti di stasiun kecil, itulah tanda kalau Dara harus turun sekarang, lima menit waktu untuk segera turun. Buru-buru Dara menggendong tas ranselnya serta barang bawaan yang dibungkus pakai kardus. Inilah tempat asalnya, tempat dimana dia dilahirkan dan pertama kali harus berani melangkah maju dengan mimpinya. Mimpi yang sangat penting bagi orang kecil seperti dirinya. Dara memanggil tukang ojeg, ada ratusan yang siap mengantarnya, bukan gratis tetapi sudah menjadi pekerjaan mereka sebagai tukang ojeg setiap harinya. Rumahnya jauh dari stasiun, terpencil masih jauh dari modern namun banyak warganya sudah terpengaruh oleh tayangan televisi dan pengaruh-pengaruh dari luar kampung yang kadang hanya membuat perpecahan dan pertengkaran, misalnya soal kepercayaan dan agama, tradisi dan cara bersosial.

Wuzz! Angin mengombang –ambingkan rambutnya yang  tanpa helm. Kejutan! Dara akan memberikan kejutan pada Ibunya. Pohon-pohon masih berdiri kokoh dan hijau, udara sore hari masih sangat sejuk seperti dipagi hari. Rumah-rumah disepanjang  jalan sudah berubah, tidak ada lagi yang seperti gubug tua. Dara tersenyum, dia hanya ingin bertemu Ibunya tanpa harus peduli dengan sekelilingnya yang membuat dirinya merasa tidak puas. Sekelilingnya hanya membuat dirinya tersiksa akan keinginan yang terus harus dipenuhi.

Dari kejauhan sepuluh meter matanya sudah melihat rumah yang masih berdinding papan kayu dan bambu. Itu rumah Dara, rumah tempat dia dilahirkan dan menjadi dewasa dalam kemiskinan.

“Pak, disini saja,” kata Dara kepada tukang ojeg.
“Ya neng,” jawab si tukang ojeg yang kemudian menurunkan barang-barang bawaaan Dara.
“Terimakasih pak,” Dara mengulurkan uang ditangannya. Segera Dara berlari menuju rumah dengan girang. Sepi tidak ada tanda-tanda kehidupan, yang ada hanya nyala sebuah lampu minyak dan lilin yang menerangi rumahnya. Dara panik, dia mencari disetiap sudut namun tak menemukan juga, siapapun tidak ada. Dara membuka pintu,dilihatnya salah seorang tetangga sedang melintas dan Dara memanggilnya. Jantung Dara serasa mau copot ketika dia diberitahu bahwa Ibunya masuk rumah sakit sejam yang lalu. Seluruh badannya melemah, kekuatan dan keceriannya seakan luluh lantah tanpa jejak. Dara merasa linglung sejenak, Ibu adalah nyawanya, tawanya juga tangisnya, ketika tidak ada orang yang mengerti tentang dirinya atau bahkan tidak peduli dengan dirinya Ibu adalah orang pertama yang akan mengusap rambutnya, membelainya dan membuatnya selalu tersenyum. Meski Dara tahu diam-diam Ibunya sering menangis dan kecewa dengan hidup ini, tapi Ibu selalu tersenyum tegar dan memberikan kehangatan pada anak-anaknya.
Dari pintu Dara mengintip Ibunya yang sedang terlelap, perlahan Dara menghampiri dengan langkah kaki sangat hati-hati. Dara menggenggam tangan Ibunya yang keriput, memandang wajah Ibunya dengan seksama. Wajah itu kini telah menua, masa mudanya tercermin diwajah Dara yang cantik tanpa jerawat. Dulu Ibu sangat cantik, menawan bagai mawar yang mengundang kumbang-kumbang, bagai bidadari yang tegar menghadapi kejamnya perubahan. Senyum manis yang selalu mengembang dan membuat pesona tersendiri bagi orang-orang yang mencintainya. Ibu... Dara meneteskan air matanya, dia ingin melihat senyum yang seperti bidadari itu tersungging dibibirnya kembali. Ketika Dara menghapus air mata yang tidak sengaja menetes, Dara melihat Ibunya tersenyum, tangannya menggenggam dengan kuat.

“Ibu,” panggil Dara.
“Anakku,” jawab Ibunya.
“Aku sayang Ibu,” kata Dara.
Ibunya tidak berkata apa-apa lagi. Senyum terakhir Ibunya itu membuat pukulan yang amat berat bagi Dara. Dara tidak tahu harus menyalahkan siapa, nasib hanya menuntunnya bukan menuntutnya atau menghakiminya. Tangisan Dara pecah, menggelegar seperti petir. Ini adalah awal kehidupannya yang baru, tanpa seorang Ibu.

                                                                                  ***
“Aku sayang mama,” kata Irene anaknya Dara yang berusia tujuh tahun.
“Mama juga sayang kamu nak,” jawab Dara.
Irene menangis dipangkuan Dara ketika Irene mendengarkan kisah tentang neneknya, yang photonya terpajang didinding ruang tamu. Wajahnya mirip dengan Dara, sama persis tiada beda, begitu juga dengan senyuman bidadarinya yang memiliki lesung pipit dikedua pipinya.

Dara menjadi orang yang berkecukupan ketika dia memenangkan undian satu milyar yang tanpa sengaja telah ditemukannya, satu hal yang Dara sadari adalah bukan banyak uang yang menjadi mimpinya dan kebahagiaannya tetapi senyum Ibunya yang terpenting dalam hidupnya. Kemiskinan tidak menjadikan seseorang menjadi hina tetapi kebahagiaan batin membuat diri seseorang mulia.

“Ungkapkanlah rasa sayang kepada orang-orang yang kita cintai sebelum semuanya terlambat”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar