Selamat Hari Ibu :)
kasih komen dan masukkannya dong :)
===========
Senyum Bidadari
Oleh LANI
Rindu
menggebu dihati Dara. Semalam dia bermimpi tentang Ibunya yang jatuh
sakit, suasana hatinya menjadi rusak, dadanya pun terasa sesak bernafas.
Ibunya Dara tinggal dikampung sedangkan Dara di kota untuk mencari uang
dan bekerja sebagai pelayan rumah makan atau istilah kerennya waitres.
Tiada hari tanpa bekerja, meski hari libur atau pun tanggal merah. Semua
hari baginya sama, dua belas jam dalam sehari Dara habiskan untuk
bekerja. Kadang dalam hatinya memberontak namun apalah daya orang kecil
hanya bisa bermimpi. Sesuatu yang paling murah dan gratis hanyalah
sebuah mimpi, yang entah kapan bisa terwujud. Dara mendesah,
membelalakan kedua bola matanya ketika mentari pagi terbit secerah lampu
kamar yang lupa dia matikan. Segera Dara mencari handphonenya dan
menelpon kakaknya untuk menanyakan kabar Ibunya. Badannya panas dan
berkeringat. Beberapa kali tidak bisa terhubung karena sinyal yang
kurang mendukung, setelah lima kali baru bisa tersambung.
“Halo kak,” kata Dara.
“Ya, ada apa Dara?” jawab kakak Dara.
“Bagaimana keadaan Ibu?” lanjut Dara.
“Ibu lagi gak enak badan tapi udah minum obat, bagaimana dengan kamu? Kapan pulang?” tanya Kakak Dara penuh harap.
“Semoga Ibu cepat sembuh ya, aku baik-baik saja disini dan belum tahu kapan pulangnya,” jawab Dara.
Hatinya
menangis. Kapan pulang? Ingin sekali pulang, namun mimpi bukan hanya
sekedar untuk ditunggu lalu terwujud namun perlu usaha dan harapan.
“Kamu jaga kesehatan disitu ya,” kata kakak Dara.
“Siap kak, aku akan segera pulang. Jaga Ibu ya, salam untuk Ibu,” balas Dara.
Telepon
pun ditutup dengan desahan nafas menahan rindu pada Ibu dan keluarga
dikampung. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, segera Dara bergegas
mandi dan bersiap untuk bekerja kembali. Matanya melihat sebungkus mie,
Dara teringat masa lalu ketika satu bungkus mie dijadikan lauk untuk
empat orang oleh Ibunya. Matanya berkaca, bahwa hidup ini mungkin tidak
adil menurutnya. Dara hanya bermimpi mempunyai uang sebanyak-banyaknya
untuk membuat Ibu dan kakaknya bahagia, supaya orang-orang pun tahu
bahwa mereka juga bagian dari masyarakat yang tak perlu dikucilkan
karena kemiskinan. Maka Dara rela bekerja tanpa libur bahkan kadang
sampai lembur untuk menambah tabungannya supaya Ibunya bisa menonton
televisi, bisa memasak dengan kompor gas tanpa perlu kayu bakar lagi,
rumahnya bisa terang tanpa mengandalkan cahaya bulan seperti dikota-kota
dan tetangganya yang gemerlapan cahaya lampu, serta mempunyai rumah
yang berdinding batu bata bukan bilik dari tanaman ilalang yang kapan
saja bisa terbakar jika terkena panas. Sebagian sudah terwujud dan masih
banyak yang belum terwujud, maka Dara masih bermimpi untuk segera
mewujudkannya.
Senyum pun tersungging dibibirnya, Dara
yakin jika dia bekerja dengan giat, semangat, dan menyambut hari dengan
senyuman maka dunia pun akan tersenyum balik padanya maka mimpi-mimpi
pun akan segera terwujud.
“Semangat!!” ujarnya.
Sekarang
Dara sudah rapi dan siap berangkat bekerja, untuk memotongi sayuran,
memasak nasi atau melayani pelanggan rumah makan dengan masakan yang
enak. Dara berjalan kaki dari tempat mes-nya, sepanjang jalan angin
menyertainya seolah mengajaknya bicara memberitahunya bahwa hidup ini
sebenarnya tidak sesulit dan sekejam yang dia bayangkan. Namun itu hanya
terlihat seperti gerakan pantomim yang tak bisa dimengerti oleh Dara,
atau seperti tulisan novel yang indah namun sang pembaca hanya mengagumi
covernya tanpa tahu isi dan jalan cerita dari judul novel tersebut.
Dara melihat kesekeliling, bahwa pagi ini indah apalagi kalau apa yang
kita inginkan terwujud, maka hidup akan terasa ajaib. Dara melihat
rumput-rumput yang bergoyang bersenandung menghiburnya. Langkahnya
terhenti karena kakinya menginjak kertas merah yang sepertinya penting
dan milik seseorang. Kertas undian. Dara menoleh kanan kiri namun tidak
ada orang yang mau mengakuinya, maka Dara mengambilnya dan menyatakan
bahwa itu miliknya, wajar bukan!
“Dara!” dari kejauhan
seseorang memanggilnya dan sudah menatapnya dengan bengis. Itu bos-nya,
sipemilik warung makan yang sudah siap dengan kemarahan yang tidak
jelas. Itu sudah biasa, menjadi menu makanan setiap pagi bagi Dara.
Langkah kaki Dara makin dipercepat sebelum amukan masal dengan percuma
dia lewatkan.
“Ya bu bos,” jawab Dara.
“Lelet! Cepetan potong-potong sayuran itu, saya mau sembahyang dulu.” Suruh bos perempuannya.
Dara
hanya mengangguk. Berfikir sejenak bahwa kadang-kadang apa yang dimakan
enak oleh orang adalah hasil jerih payah orang kecil. Dan uang adalah
penguasa nomor satu yang tak terkalahkan sedangkan Tuhan hanya sebagai
alasan manusia menyimpan salah dan berharap berkah. Dara mendendangkan
sebuah lagu dimulutnya sebagai pengobat hatinya yang sejak tadi pagi tak
karuan. Suatu hari nanti, Dara yakin akan suatu hari nanti segalanya
akan tampak indah sebagaimana adanya dan akan dia tunjukkan pada dunia
tentang mimpinya.
Sepuluh bulan kemudian...
Hati
Dara kosong. Dara ingin pulang, tak bisa ditawar lagi. Akhirnya Dara
meminta ijin pulang kampung selama tujuh hari. Uangnya belum banyak
namun kerinduan membuatnya mengubur sejenak mimpinya, Dara hanya ingin
merasakan belaian tangan Ibunya, tidur disampingnya dan membuatkan
masakan menu spesial.
Kereta melaju membawa sejuta gemuruh
didada, sudah satu tahun Dara tidak pulang kampung. Akan sangat berbeda
rasanya, akan banyak perubahan yang terlihat terutama suasana desa.
Delapan jam perjalanan tidak terasa, Dara terhibur dengan adanya
bencong-bencong yang berdendang, macam-macam orang yang saling
membanggakan diri. Dara hanya membanggakan satu orang di dunia ini yaitu
Ibunya. Para pedagang tak henti-hentinya mondar-mandir membawa dagangan
serta berbagai macam aroma keringat tak sedap hanya demi satu kata
“UANG.”
Kereta berhenti di stasiun kecil, itulah tanda
kalau Dara harus turun sekarang, lima menit waktu untuk segera turun.
Buru-buru Dara menggendong tas ranselnya serta barang bawaan yang
dibungkus pakai kardus. Inilah tempat asalnya, tempat dimana dia
dilahirkan dan pertama kali harus berani melangkah maju dengan mimpinya.
Mimpi yang sangat penting bagi orang kecil seperti dirinya. Dara
memanggil tukang ojeg, ada ratusan yang siap mengantarnya, bukan gratis
tetapi sudah menjadi pekerjaan mereka sebagai tukang ojeg setiap
harinya. Rumahnya jauh dari stasiun, terpencil masih jauh dari modern
namun banyak warganya sudah terpengaruh oleh tayangan televisi dan
pengaruh-pengaruh dari luar kampung yang kadang hanya membuat perpecahan
dan pertengkaran, misalnya soal kepercayaan dan agama, tradisi dan cara
bersosial.
Wuzz! Angin mengombang –ambingkan rambutnya
yang tanpa helm. Kejutan! Dara akan memberikan kejutan pada Ibunya.
Pohon-pohon masih berdiri kokoh dan hijau, udara sore hari masih sangat
sejuk seperti dipagi hari. Rumah-rumah disepanjang jalan sudah berubah,
tidak ada lagi yang seperti gubug tua. Dara tersenyum, dia hanya ingin
bertemu Ibunya tanpa harus peduli dengan sekelilingnya yang membuat
dirinya merasa tidak puas. Sekelilingnya hanya membuat dirinya tersiksa
akan keinginan yang terus harus dipenuhi.
Dari kejauhan
sepuluh meter matanya sudah melihat rumah yang masih berdinding papan
kayu dan bambu. Itu rumah Dara, rumah tempat dia dilahirkan dan menjadi
dewasa dalam kemiskinan.
“Pak, disini saja,” kata Dara kepada tukang ojeg.
“Ya neng,” jawab si tukang ojeg yang kemudian menurunkan barang-barang bawaaan Dara.
“Terimakasih
pak,” Dara mengulurkan uang ditangannya. Segera Dara berlari menuju
rumah dengan girang. Sepi tidak ada tanda-tanda kehidupan, yang ada
hanya nyala sebuah lampu minyak dan lilin yang menerangi rumahnya. Dara
panik, dia mencari disetiap sudut namun tak menemukan juga, siapapun
tidak ada. Dara membuka pintu,dilihatnya salah seorang tetangga sedang
melintas dan Dara memanggilnya. Jantung Dara serasa mau copot ketika dia
diberitahu bahwa Ibunya masuk rumah sakit sejam yang lalu. Seluruh
badannya melemah, kekuatan dan keceriannya seakan luluh lantah tanpa
jejak. Dara merasa linglung sejenak, Ibu adalah nyawanya, tawanya juga
tangisnya, ketika tidak ada orang yang mengerti tentang dirinya atau
bahkan tidak peduli dengan dirinya Ibu adalah orang pertama yang akan
mengusap rambutnya, membelainya dan membuatnya selalu tersenyum. Meski
Dara tahu diam-diam Ibunya sering menangis dan kecewa dengan hidup ini,
tapi Ibu selalu tersenyum tegar dan memberikan kehangatan pada
anak-anaknya.
Dari pintu Dara mengintip Ibunya yang sedang
terlelap, perlahan Dara menghampiri dengan langkah kaki sangat
hati-hati. Dara menggenggam tangan Ibunya yang keriput, memandang wajah
Ibunya dengan seksama. Wajah itu kini telah menua, masa mudanya
tercermin diwajah Dara yang cantik tanpa jerawat. Dulu Ibu sangat
cantik, menawan bagai mawar yang mengundang kumbang-kumbang, bagai
bidadari yang tegar menghadapi kejamnya perubahan. Senyum manis yang
selalu mengembang dan membuat pesona tersendiri bagi orang-orang yang
mencintainya. Ibu... Dara meneteskan air matanya, dia ingin melihat
senyum yang seperti bidadari itu tersungging dibibirnya kembali. Ketika
Dara menghapus air mata yang tidak sengaja menetes, Dara melihat Ibunya
tersenyum, tangannya menggenggam dengan kuat.
“Ibu,” panggil Dara.
“Anakku,” jawab Ibunya.
“Aku sayang Ibu,” kata Dara.
Ibunya
tidak berkata apa-apa lagi. Senyum terakhir Ibunya itu membuat pukulan
yang amat berat bagi Dara. Dara tidak tahu harus menyalahkan siapa,
nasib hanya menuntunnya bukan menuntutnya atau menghakiminya. Tangisan
Dara pecah, menggelegar seperti petir. Ini adalah awal kehidupannya yang
baru, tanpa seorang Ibu.
***
“Aku sayang mama,” kata Irene anaknya Dara yang berusia tujuh tahun.
“Mama juga sayang kamu nak,” jawab Dara.
Irene
menangis dipangkuan Dara ketika Irene mendengarkan kisah tentang
neneknya, yang photonya terpajang didinding ruang tamu. Wajahnya mirip
dengan Dara, sama persis tiada beda, begitu juga dengan senyuman
bidadarinya yang memiliki lesung pipit dikedua pipinya.
Dara
menjadi orang yang berkecukupan ketika dia memenangkan undian satu
milyar yang tanpa sengaja telah ditemukannya, satu hal yang Dara sadari
adalah bukan banyak uang yang menjadi mimpinya dan kebahagiaannya tetapi
senyum Ibunya yang terpenting dalam hidupnya. Kemiskinan tidak
menjadikan seseorang menjadi hina tetapi kebahagiaan batin membuat diri
seseorang mulia.
“Ungkapkanlah rasa sayang kepada orang-orang yang kita cintai sebelum semuanya terlambat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar