Jumat, 14 Oktober 2011

BUDAYA KERJA

Seorang sahabat bertanya tentang apasih yang di maksud budaya kerja, dan
bagaimana menciptakan budaya kerja yang efektif dalam seuatu lingkungan
perusahaan. Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan
hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong
yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi
perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud
sebagai kerja. (Sumber : Drs. Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno, LLM )

Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang
ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai
tantangan di masa yang akan datang.

Manfaat dari penerapan Budaya Kerja yang baik :
1. meningkatkan jiwa gotong royong
2. meningkatkan kebersamaan
3. saling terbuka satu sama lain
4. meningkatkan jiwa kekeluargaan
5. meningkatkan rasa kekeluargaan
6. membangun komunikasi yang lebih baik
7. meningkatkan produktivitas kerja
8. tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll.

Dalam perusahaan yang saya jalani saat ini yang identik sebagai perusahan
jepang terdapat namanya budaya kerja 5R/5S. 5R/5S dikenal sebagai salah satu
budaya kerja dari negara Jepang yang sudah melegenda. 5R berasal dari 5 kata
dalam bahasa Jepang, yaitu Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke.
Kelima kata itu kemudian diterjemahkan kedalam berbagai bahasa di dunia
untuk diadposi cara kerjanya dan digunakan sebagai salah satu budaya kerja
di banyak perusahaan besar di dunia. Dalam bahasa Indonesia, 5S itu
diterjemahkan sebagai 5R, Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin. Banyak
perusahaan sudah mengadopsi budaya kerja 5R ini. Secara tidak disadari, 5R
akan membentuk suatu budaya kerja yang sangat bermanfaat. Bahkan 5R mampu
digunakan sabagai salah satu tools untuk meningkatkan laba perusahaan.
Bagaimanakah 5R tersebut dapat bekerja sebagai salah satu tools peningkatan
laba perusahaan? Mari kita lihat.Seperti yang telah disebutkan diatas, 5R
terdiri dari Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin. Kelima kata tersebut
merupakan suatu rangkain urutan dalam membangun budaya kerja.

Budaya kerja di sebuah perusahaan tidak diciptakan oleh pemiliknya atau
siapa pun di perusahaan itu. Munculnya budaya kerja merupakan hasil
perpaduan dari semangat kerja semua invidu di perusahaan dengan dipengaruhi
oleh semangat terbesar dan terkuat dari salah satu individu di perusahaan
itu. Semangat terkuat itu pada umumnya merupakan semangat kerja pemilik atau
pemimpin perusahaan. Semangat terkuat itu akan mempengaruhi dan menggerakkan
semangat dari individu lainnya, lalu kemudian menyatukannya dalam satu irama
kerja yang sama, maka terlahirlah budaya kerja.

Budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih dianggap
sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja
dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Pemahaman
karyawan tentang budaya kerja positif masih lemah. Budaya organisasi atau
budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai. Hal ini pulalah juga agaknya
yang kurang mendukung terciptanya budaya produktif. Perusahaan belum
mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan
tidak memiliki sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Karena
itu tidak jarang prusahaan yang mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk
upah minimunya. Ditambah dengan rata-rata pendidikan karyawan yang relatif
masih rendah maka produktivitas pun rendah. Karena itu tidak heran
produktivitas kerja di Indonesia termasuk terendah dibanding dengan
negara-negara lain di Asia.

Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana.
Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya.
Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah
waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji,
teknologi yang dipakai dsb. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi
oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di
Indonesia relatif rendah karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas
fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat upah dari karyawan. Hal
ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia di Indonesia
(gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di
negara-negara tetangga.

Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para
karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan
perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi
(pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan pasar kerja
yang semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses pembelajaran plus
dukungan kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan.

Program kerja Outsourcing dan Pemberian UMR yang rendah di Indonesia juga
menjadi penyebab buruknya budaya kerja Di Indonesia, oleh karena itu
sebaiknya pemerintah meningkatkan Nilai Pekerja Indonesia dan Kesejahteraan
Pekerja untuk mendapatkan budaya kerja yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar