Minggu, 23 Oktober 2011

coklat

Sekitar 12 Persen Bubuk Coklat di Pasar Diduga Palsu  

REUTERS/Yusuf Ahmad

Berita terkait


<a href='http://openx2.tempointeraktif.com/www/delivery/ck.php?n=a6f00733&cb=' target='_blank'><img src='http://openx2.tempointeraktif.com/www/delivery/avw.php?zoneid=400&cb=&n=a6f00733' border='0' alt='' /></a>
TEMPO Interaktif, Jakarta - Asosiasi Industri Kakao Indonesia memperkirakan 12 persen dari bubuk coklat yang dikonsumsi dalam negeri palsu. "Perkiraan kami peredaran bubuk kakao palsu itu mencapai 12 persen dari total konsumsi bubuk kakao dalam negeri, yaitu sekitar 5 ribu ton per tahun," kata Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia, Piter Jasman, Jumat 3 Juni 2011. Saat ini total konsumsi bubuk kakao dalam negeri sebesar 40 ribu ton per tahun.

Peredaran bubuk kakao palsu itu tetap marak meskipun pemerintah sudah mengeluarkan SNI wajib bubuk kakao sejak 2009 lalu. "Hanya bedanya dulu bubuk kakao palsu terang-terangan beredar di pasaran, bahkan di kota besar. Saat ini sembunyi-sembunyi, lebih banyak beredar di kota kecil dan pinggiran," katanya.

Jika sebelum diberlakukan SNI wajib, bubuk kakao palsu lebih banyak berasal dari impor, tapi sekarang justru lebih banyak berasal dari produsen dalam negeri. "Karena sekarang bubuk kakao impor yang masuk diaudit dulu oleh Kementerian Perdagangan sehingga harus sesuai standar untuk bisa masuk ke dalam negeri. Saat ini bubuk kakao palsu itu lebih banyak diproduksi oleh industri rumahan dan industri kelas menengah," kata Piter.

Adapun untuk pemasarannya, masih menurut Piter, produsen tersebut lebih banyak memasok langsung ke industri makanan dan minuman. "Oleh karena itu, kami berharap GAPMMI dapat waspada dan hanya membeli produk bubuk coklat yang telah sesuai dengan SNI," katanya.

Dikhawatirkan jika produsen memakai bahan baku baku bubuk coklat palsu, maka akan menyebabkan produk mereka berbahaya untuk dikonsumsi. Pasalnya, bubuk coklat palsu tersebut terbuat dari kulit biji coklat yang bisa menyebabkan kanker.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar